Home Cerpen Cerita kamu Cerita cinta Curhat Download Mp3 Gratis Pasang iklan disini


2011/11/03

Pelangi Terakhir Untuk Icha By Febrianna Khoirunisa




Pelangi Terakhir Untuk Icha By Febrianna Khoirunisa Pelangi Terakhir Untuk Icha By Febrianna Khoirunisa, karena hari ini saya sudah berjanji akan mempublikasi cerita yang sudah dikirim, maka inilah cerita selanjutnya yang sudah dikirimkan oleh teman kita febrianna khoirunisa. Cerita yang satu ini berjudul Pelangi Terakhir Untuk Icha, hmm, dari judul tersebut saya yakin ada rasa penasaran ingin tahu lebih jelasnya mengenai cerita ini hehehe. Kayanya lebih bagus kalau kita langsung saja melihat atau membaca ceritanya ya...

Pelangi Terakhir Untuk Icha By Febrianna Khoirunisa


Siang itu langit tidak begitu cerah karena hujan baru saja berhenti mengguyur bumi ini.
Langsung saja aku melajukan mobil jazz biru-ku keluar dari sekolah yang begitu asri meski penghuninya adalah laki-laki semua. Melintasi jalanan yang becek akibat hujan tadi.
Byaaaarrrr….
Tak sengaja aku melintasi jalanan yang ada genangan air dan air tersebut membasahi baju seorang siswi yang sedang duduk di bangku taman dekat sekolahku. Gadis itu langsung bangun dari duduknya. Sambil membersihkan bajunya yang basah dan kotor mulutnya seraya mengatakan sesuatu seperti marah-marah.
“Huh sialan ! Baju gue jadi kotor dan basah gini kan ! Hey, baru bisa bawa mobil yah ? Atau enggak punya etika berkendara yang baik ? Enggak liat apa kalo ada orang disini. Aaaaahhhh !!” maki gadis itu kepadaku.
Kakiku langsung menginjak pedal rem. Mobil berhenti tak jauh dari tempat gadis itu. Aku melirik kaca spionku, ku lihat gadis itu tampaknya marah sekali karena bajunya basah karena kecripatan air hujan yang menggenang di jalanan. Sekilas aku memperhatikan gadis itu, dia tampak manis dan lucu meski ekspresi wajahnya adalah marah. Aku akui, gadis itu memang cantik.
Tanpa mempedulikan gadis itu yang masih ngomel-ngomel, aku langsung tancap gas karena saat itu aku memang sedang terburu-buru.

***

Ohh iya, hampir saja aku lupa memperkenalkan diri. Hehehe
Namaku Aldo Ramadhan. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Sekarang aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas tahun ajaran terakhir. SMA Taruna Karya.
Nah, kalau gadis yang aku ceritakan di awal tadi namanya Nissa Putri Maharani. Dia adalah gadis yang periang, lucu, baik hati, ramah, juga gampang bergaul. Satu kelebihan dia adalah senyumanya yang manis yang mampu membuat hati yang melihatnya menjadi damai. Seperti saat melihat pelangi sehabis hujan.
Dan inilah ceritaku :)

***

“Hmm akhirnya sampai juga dirumah. Capeeekkk !” seraya membaringkan tubuhku di sofa empuk.
“Kok lama banget pulangnya, Do ? Kemana dulu tuh tadi ? Ngapelin cewek dulu yahh.“ ledek Kak Nanda.
“Lho Kakak ? Kok udah pulang aja, baru aku mau jemput.” Tanyaku heran melihat Kak Nanda sudah dirumah.
“Kelamaan nungguin kamu, jadi Kakak pulang aja naik taksi.”
“Yaahh maaf yah, Ka aku enggak bisa jemput Kakak di kampus. Tadi aku ada tambahan jam pelajaran, jadi pulang telat deh.”
“Iya enggak apa-apa kok. Naik ke atas sana, ganti baju terus makan.”
“Kakak udah makan ?”
“Udah tadi bareng sama Mamah.”
“Yasudah aku ganti baju dulu yah, ka. Dadaaah Kakakku sayang !” sambil mencium pipi Kakak aku langsung berlari menuju kamarku.
“Dasar Aldo nyebelin.”

***

Udara malam ini cukup dingin, memaksaku harus memakai pakaian panjang. Tugas sekolahku baru saja selesai aku kerjakan. Sekarang waktunya aku bersantai di temani lagu-lagu favoritku yang sedang mengantri di playlist MP3-ku.
Aku berbaring di kasur. Mataku memandang langit-langit kamar yang berwarna biru cerah. Tiba-tiba wajah gadis itu terlintas disana. Wajah yang manis yang membuat orang ingin menatapnya lebih lama.
“Hey, kira-kira tadi dia pulangnya gimana yah ?” tanyaku seraya merubah posisiku menjadi duduk. “Ah gue jadi merasa bersalah deh sama dia, udah bikin bajunya dia basah dan kotor gitu bukannya minta maaf ehh malah langsung pergi gitu aja. Tapi, apa yang dia lakukan disana ? Duduk sendiri sambil menatap langit. Apa dia sedang menunggu seseorang ?” tanyaku yang penasaran.

***

Di tempat yang berbeda, seorang gadis duduk di balkon kamarnya menatap langit. Langit malam ini sangat cerah, bertaburan bintang-bintang yang indah berkelip. Nampaknya malam ini hujan tidak turun meskipun udaranya cukup dingin.
“Bintangnya banyak banget malam ini. Itu artinya hujan tidak akan turun.” ujar gadis yang akrab di sapa Icha.
“Lagi ngeliatin apa sih ? Kayanya seneng banget, senyumnya sumringah gitu.” Ledek Bunda. “Perasaan tadi pulang sekolah mukanya di tekuk, bete, cemberut gara-gara bajunya basah dan kotor.”
“Ahh Bunda mah, jangan ngeledekin Icha dong !”
“Bunda enggak ngeledek kamu kok, Sayang !”
“Ehh Bun, langitnya cerah yah, bintangnya juga banyak tuh.”
“Iya, malam ini hujan tidak turun jadi bintang-bintang berkelip dengan indah menemani rembulan menyinari malam ini.” Seru Bunda mengiyakan pendapatku. “Kamu udah makan ?”
“Hmm belum, Bun. Tadi doang makannya pulang sekolah.”
“Yaudah sekarang kita makan dulu yuk. Ayah sama Dimas udah nunggu di bawah tuh.”
“Bunda turun duluan deh, aku mau beresin buku dulu buat besok.”

***

Bel istirahat baru saja berbunyi. Semua anak langsung berhamburan keluar kelas. Suasana sekolah pun ramai. Seperti biasanya, aku dan teman-temanku langsung menuju lapangan futsal untuk sparing futsal sama anak kelas yang lain.
“Ehh kalian ke lapangan duluan aja, nanti gue nyusul.” Seru Dimas membuka pembicaraan.
“Emangnya lu mau kemana, Dim ?” Tanyaku.
“Mau ke SMA sebelah. Bentar doang kok. Oke.” Seraya pergi meninggalkan anak-anak yang lain.
Tanpa sepengetahuan Dimas aku mengikutinya dari belakang. Ternyata memang benar Dimas ke SMA sebelah. Tepatnya sih menemui seorang gadis yang sedang duduk di bangku taman sekolah.
Ada beberapa gadis disana. Mereka sedang bersenda gurau. Tunggu. Gadis itu bukannya yang kemarin bajunya basah dan kotor karenaku. Dimas menemui gadis itu. Ada hubungan apa Dimas dengan gadis itu ?
Ku putuskan untuk menanyakan tentang gadis itu ke Dimas sepulang sekolah nanti. Sekarang lebih baik aku balik ke lapangan futsal.

***

Cuaca siang ini tidak begitu panas karena ada awan mendung yang sedang berdiam diatas sana. Entah kapan air hujan itu akan turun kembali membasahi tanah ini.
Hari ini Dimas pulang denganku. Motornya lagi di servis di bengkel. Kebetulan arah rumahku dengannya juga searah. Sekalian aku ingin menanyakan soal gadis itu.
“Jadi balik bareng gue enggak, Dim ?”
“Jadi lah, kalo enggak jadi gue pulang naik apa !”
“Yaudah kalo gitu kita cabut sekarang aja.”
“Tapi nanti dulu masih nunggu orang.”
“Emangnya nunggu siapa lagi ?”
“Ada lah, yaudah kita tunggu di taman depan aja deh.”
Mobilku pun telah keluar dari gerbang sekolah dan sekarang sedang terparkir di taman depan SMA Tunas Bangsa. SMA khusus untuk perempuan. Masih satu yayasan dengan sekolahku.
“Lu nungguin siapa sih ? Cewek lu yaahh.” Tanyaku setengah meledek.
“Bukan, dodol. Sejak kapan gue punya cewek !”
“Terus nunggu siapa ? Cewek yang tadi lu temuin yah pas istirahat.”
“Kok tau kalo gue nemuin cewek tadi ?”
“Tau lah, kan lu bilang mau ke SMA sebelah. SMA sebelah kan sekolah cewek, udah pasti lu nemuin cewek. Ahh gimana sih lu !”
“Ohh iya yah gue lupa. Hehe “ dengan wajah polosnya sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya enggak gatel.
“Mana deh ? Lama banget.”
“Bentar lagi keluar kok. Nah tuh dia anaknya.” Sambil menunjuk ke salah seorang gadis yang sedang berjalan keluar gerbang sekolah.
“Yang itu, Dim ?”
“Iya itu. Bentar yah gue mau ke sana dulu.”
Tak lama Dimas pun kembali ke dalam mobil bersama gadis itu. Gadis yang kemarin ku buat kesal.
“Ehh Do, kenalin nih Nissa biasanya di panggil Icha. Icha, nih Aldo temen gue.” Dimas pun memperkenalkan aku dengan gadis itu.
“Icha.”
“Aldo.” Tak sadar jantungku berdetak dengan cepat saat menjabat tangannya dan melihat matanya. Suaranya pun indah terdengar olehku. Sesaat aku terdiam. Suara Dimas menyadarkanku.
“Wooyy Do, ngapain bengong ? Kapan baliknya nih ?”
“Ehh iya he-eh. Sorry sorry gue bengong. Yaudah kita balik sekarang, tapi mampir dulu yah kita makan dulu, laper nih gue. Gue yang traktir deh.” Sambil menyalakan mobil dan kemudian meninggalkan taman SMA Tunas Bangsa.
Di dalam mobil tak ada pembicaraan, hanya suara music yang terdengar. Ku putuskan untuk membuka pembicaraan. Enggak nyaman rasanya dengan suasana seperti ini. Canggung.
“Dim, Icha siapa lu ? Pacar yah ? Hayo ngaku sama gue !” ledekku setengah tertawa.
“Haahh pacar ?” saut Icha dengan nada sedikit kaget. Namun tak lama terlihat senyum manis darinya yang ku lihat dari kaca depan.
“Ett nih anak ngeyel amat kalo di bilangin. Gue kan udah bilang tadi, gue enggak punya pacar !”
“Lah terus itu siapa ? Ngenalin ke gue cuma namanya doang.”
“Gue adenya Dimas kali.” Seraya senyum itu mengembang di sudut bibir tipisnya.
“Ehh adenya Dimas toh. Cantik. Kok lu enggak bilang-bilang sih kalo punya ade cewek, Dim ?”
“Ngapain gue bilang-bilang, emangnya penting gitu buat lu ? Iyalah cantik, kakaknya aja ganteng.” Jawab Dimas sambil tertawa bangga. Sedangkan Icha hanya tersenyum dengan wajah yang memerah. Senyum yang membuat jantungku kembali berdetak dengan cepat.
“Yeee dasar lu ! Oh iya Cha, gue mau minta maaf nih sama lu.”
“Lho minta maaf ? Emang punya salah apa sama gue ? Kenal aja baru beberapa menit yang lalu.” Tanya Icha yang heran karena aku tiba-tiba langsung minta maaf kepadanya.
“Kemaren baju lu basah kan gara-gara kecpritan air pas lu lagi duduk di bangku taman sekolah.”
“Lho kok lu tau ? Tau dari mana ?” Tanya Icha semakin bingung.
“Nah makanya itu gue minta maaf sama lu, kemaren yang nyepretin air ke lu tuh gue. Tapi gue enggak sengaja, beneran deh. Gue enggak tau kalo ada air di situ. Terus juga bukannya gue enggak mau minta maaf sama lu kemaren, gue buru-buru banget jadi gue cuma berenti bentar langsung pergi lagi.” Jelasku sejelas-jelasnya berharap Icha enggak marah dan mau maafin aku.
“Ohh jadi elu toh yang bikin baju ade gue basah kemaren. Gara-gara lu, Icha kemaren ngamuk di rumah. Orang rumah di diemin sama dia.” Sambar Dimas yang kesal karena di diemin sama Icha kemarin.
“Waduuhh sabar sabar, jangan pake emosi gitu lah, Mas ! Ichanya aja enggak sewot, ehh malah elu yang ngomel ama gue.”
“Ehh udah-udah enggak usah berantem gitu. Iya enggak apa-apa kok, Do tapi lain kali hati-hati kalo bawa mobil.” Jawaban Icha menenangkan hatiku. Ternyata dia enggak marah sama aku. Aku tersenyum.
“Ahh elu mah, De masa maafin Aldo sih ? Kemaren gue di diemin seharian, salah juga enggak sama lu !”
“Hehe maaf deh, Ka maaf. Lu tau kan gimana gue kalo lagi kesel sama orang.”
“Dasar Icha, bisa banget bikin orang enggak jadi marah dengan tampang polos kaya anak kecil gitu.”
Aku hanya tersenyum melihat keharmonisan hubungan kakak beradik itu.

***

Waktu berlalu dengan cepat. Perkenalanku dengan Icha yang begitu singkat kini telah membuatku menjadi lebih akrab dan dekat. Ada perasaan yang berbeda. Aku jatuh cinta kepadanya. Sejak saat pertama aku melihat wajahnya. “Apakah Icha memiliki perasaan yang sama denganku ?” tanyaku dalam hati.
Jam di kamarku menunjukkan jam 14.30. Ku lihat keluar hujan telah reda setelah satu jam mengguyur bumi ini. Langit pun kembali cerah, matahari keluar dari persembunyiannya. Aku teringat sesuatu. Pelangi. Yaa.. Icha suka sekali dengan pelangi. Segera ku ambil handphoneku yang ku letakkan di meja. Tanganku sibuk mengetik SMS untuk ku kirim ke Icha.
“Cha, langit di luar cerah. Ikut gue yah :)”
“Emg mau kmna?”
“Udh siap2 sna, gue lgi otw krmah lu.”
Langsung ku nyalakan mobil dan meninggalkan garasi rumah. Hari ini aku putuskan untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Dan pelangi yang akan menjadi saksinya. Aku berharap Icha mau menerimaku menjadi pacarnya.
Ternyata Icha sudah siap disana. Dengan celana jeans dan baju hangat panjang. Rambutnya di biarkan terurai. Tak lama Icha telah berada di dalam mobil. Sesaat mobil pun telah meninggalkan halaman rumah Icha.
“Emangnya lu mau ngajak gue kemana sih ?”
“Ke suatu tempat. Pasti lu suka deh. Bentar lagi juga nyampe kok. Tapi ada syaratnya.”
“Kok pake syarat-syarat segala sih, Do ?”
“Hmm syaratnya, mata lu harus gue tutup.”
“Iya deh oke.”
Taman kota sore itu sangat ramai. Banyak muda-mudi yang sedang bersenda gurau disana. Maklumlah, malam ini kan malam minggu. Mobil telah terparkir, mata Icha pun telah tertutup. Aku menuntunnya menuju bangku taman yang kosong itu. Disitulah tempat yang pas untuk melihat pelangi.
“Gue itung sampai 3, baru lu boleh buka mata lu. Oke.” Icha hanya menganggukkan kepalanya ringan. “1…2...3… Lu boleh buka mata lu sekarang.”
“Waahhh… indah banget pelanginya. Gue baru kali ini bisa ngeliat pelangi seindah ini.” Wajah Icha pun terlihat bahagia sekali. Senyumannya menambah manis wajahnya yang cantik.
“Lu seneng ?” Tanyaku menatap wajahnya yang masih memandang pelangi di atas sana.
“Seneng banget, Do ! Makasih yah udah ngajak gue ke sini !”
“Sama-sama kok, Cha. Oh iya Cha, gue pengen ngomong sesuatu sama lu.”
“Ngomong apa ?” Tanya Icha yang penasaran.
Tanganku menggenggam tangannya. “Cha, gue sayang sama lu. Lu mau enggak jadi pacar gue ?”
Ku lihat wajah Icha memerah. Icha menunduk malu. Sepertinya dia kaget karena tiba-tiba aku mengungkapkan perasaanku. “Icha ? gimana mau enggak ?”
Icha mengangguk. “Iya, gue mau kok jadi pacar lu.” Diiringi dengan senyum manis itu lagi.
Aku langsung memeluk tubuhnya. Aku senang mendengar jawabannya. “Makasih yah lu udah mau nerima gue. Gue seneng banget !”
“Iya, gue juga sayang sama lu dari pertama gue kenal lu.” Ujar Icha seraya melepaskan pelukan.
Aku mengusap-usap rambut berponi itu. Senyumnya masih tergambar di sudut bibirnya. Tapi, tiba-tiba saja darah segar keluar dari hidungnya. Wajahnya berubah menjadi pucat.
“Cha, hidung lu kenapa keluar darah gitu ? Muka lu juga jadi pucet. Lu sakit yaahh ?” tanyaku khawatir dengan keadaannya yang mendadak berubah.
“Ahh enggak, gue enggak kenapa-kenapa kok, Do !” jawab Icha sambil membersihkan darah yang keluar dari hidungnya dan berusaha meyakinkan aku bahwa dia tidak apa-apa.
“Enggak apa-apa gimana ? Lu pucet, Cha. Darahnya juga keluar terus.”
Tiba-tiba Icha pingsan. Aku pun panik. Dengan segera aku bawa Icha ke rumah sakit terdekat dan menghubungi keluarganya.
Icha sedang dalam penanganan dokter di ruang UGD. Aku menunggu di koridor dekat ruang UGD dengan wajah yang sangat khawatir. Tak lama keluarganya pun datang. Ayah dan Bundnya juga Dimas.
“Icha kenapa, Do ? Kenapa Icha bisa masuk rumah sakit ?” Tanya Bundanya kepadaku dengan air mata yang membasahi pipinya.
“Icha kenapa sih, Do ?” pertanyaan yang sama dengan Bundanya di lontarkan oleh Dimas kepadaku. Dimas cemas begitu juga dengan kedua orangtuanya.
“Aldo juga enggak tau, Tante. Tiba-tiba hidung Icha ngeluarin darah. Aldo pikir cuma mimisan biasa, tapi darahnya keluar terus. Muka Icha jadi pucet terus Icha pingsan gitu aja.” Jelasku apa adanya. Karena aku pun tak tahu kenapa Icha tiba-tiba seperti itu. “Sekarang Icha lagi di tangani oleh dokter, Tante.”
Tak lama dokter pun keluar dari ruang UGD. Orangtu Icha langsung menhampiri Dr. Ivan dan menanyakan keadaan Icha.
“Dok, gimana keadaan Icha ?” Tanya Ayahnya Icha.
“Bapak dan Ibu bisa ikut saya ke ruangan saya.”
Dr. Ivan dan kedua orangtua Icha pun pergi menuju ruangan Dr. Ivan. Entah apa yang akan dibicarakan disana. Aku hanya bisa berdo’a semoga Icha tidak apa-apa.
Tak lama Icha di pindahkan ke ruang perawatan. Dimas dan aku menemani Icha, menunggu Icha sadar. Aku menggenggam tangan Icha erat.
“Do, gimana ceritanya sih Icha bisa masuk rumah sakit gini ?” Tanya Dimas.
“Hmm gue juga enggak tau, Dim. Tadi kan gue cuma ngajak dia buat ngeliat pelangi di taman kota sekalian gue pengen ngungkapin perasaan gue ke dia.”
“Lu nembak Icha, Do ?”
“Iya, gue udah jadian sama dia. Nah pas gue lagi ketawa-ketawa sama dia tiba-tiba hidungnya dia ngeluarin darah. Enggak lama dia pingsan. Yaudah langsung gue bawa ke rumah sakit deh.”
“Awas loh kalo lu berani bikin ade gue sakit hati. Berurusan sama gue !”
Tak lama orangtua Icha datang. Muka mereka tampak sedih dan takut. Melihat muka mereka seperti itu, aku pun ikut merasa takut. Aku takut sesuatu yang buruk menimpa Icha. Apa penyakit Icha sebenarnya ? Apakah sangat parah ?
“Icha sakit apa, Bun ? Kok muka Bunda sama Ayah sedih dan takut seperti itu ? Dr. Ivan bilang apa tentang keadaan Icha ?”
“Icha enggak kenapa-kenapa kok, Dim. Kamu tenang aja. Tapi untuk sementara, beberapa hari ke depan Icha harus banyak istirahat di rumah sakit.” Jawab Ayahnya seraya meyakinkan Dimas dan aku bahwa Icha tidak apa-apa.
Namun perasaan aku tidak enak. Hatiku berkata ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan dari aku, Dimas juga Icha. Icha, semoga kamu enggak kenapa-kenapa. Aku sayang kamu.

***

Sudah seminggu lebih setelah Icha diperbolehkan pulang oleh dokter. Keadaan Icha pun telah membaik, tapi masih harus banyak istirahat juga 3x dalam seminggu harus control ke rumah sakit. Selama itu pula hatiku terus bertanya sebenarnya Icha sakit apa. Semakin hari aku semakin takut kalau aku akan kehilangan Icha untuk selamanya. “Tuhan, tolong jangan Kau ambil dia sekarang. Aku masih membutuhkannya. Aku masih butuh gadis periang dan baik hati seperti dia. Masih butuh gadis yang mampu memberikan warna dalam hidupku. Seperti pelangi yang memberi warna dunia ini setelah hujan deras turun membasahi dunia. Gadis yang sangat aku sayangi.” Pintaku kepada Tuhan.
Hari ini sepulang sekolah aku akan mengantarkan Icha untuk control ke rumah sakit bersama Dimas juga kedua orangtuanya. Sejak Icha sakit, aku jadi ekstra perhatian sama dia, karena aku enggak mau Icha kenapa-kenapa. Orangtuanya pun telah memberi kepercayaan kepadaku untuk menjaga Icha.
Aku duduk di ruang tamu rumah Icha bersama Dimas dan orangtuanya sambil menunggu Icha ganti pakaian. Aku berharap hari ini aku bisa mengetahui sebenarnya Icha sakit apa. Tak lama Icha pun turun dengan pakaian yang serba panjang di tambah syal yang melingkar di lehernya. Kali ini rambutnya diikat.
“Kamu udah siap, Cha ?” Tanya Ayahnya memastikan.
“Iya, Yah. Kita berangkat sekarang aja nanti takut kesorean.”
“Yasudah kita berangkat sekarang aja.” Ujar aku mengiyakan pernyataan Icha.
Mobilku telah meninggalkan halaman rumah Icha yang lumayan luas dan rindang. Jalan kota agak sedikit licin karena hujan baru saja berhenti. Aku mengendarai mobilku dengan sangat hati-hati. Tak banyak perbincangan selama di perjalanan. Hanya senyum yang ku lihat dari bibir Icha. Senyum yang seakan berusaha meyakinkan aku bahwa dia tidak apa-apa.
Akhirnya sampai juga di rumah sakit setelah perjalanan kurang lebih satu jam. Icha dan kedua orangtuanya langsung menuju ruangan Dr. Ivan. Sedang aku dan Dimas menunggu di ruang tunggu.
“Dim, lu ngerasa ada yang aneh enggak sama orangtua lu waktu habis dari ruangan Dr. Ivan tempo hari yang lalu ?” tanyaku yang semakin penasaran.
“Hmm iya sih, Do. Kayanya ada yang mereka sembunyiin deh soal kesehatan Icha. Kalo emang Icha enggak apa-apa, kenapa mesti control 3 kali dalam seminggu ?”
“Kira-kira Icha kenapa yah, Dim ? Gue takut nih.”
Ayah Icha keluar dari ruangan Dr. Ivan dan meminta aku dan Dimas untuk masuk. Hatiku berdegup kencang. Rasa takut itu semakin menjadi-jadi. Aku masuk dengan tangan yang gemeteran.
“Nah, kalian semua sudah berkumpul disini. Saya ingin memberitahukan sesuatu kepada kalian. Terutama untuk Icha, Aldo juga Dimas. Tapi, saya mohon untuk tetap tabah setelah mendengar kabar dari saya.” Jelas Dr. Ivan dengan gaya dokter yang bijaksana.
“Emangnya ada apa sih, Dok ?” Tanya Dimas penasaran.
“Baiklah kalau begitu. Sebenarnya Icha mengidap penyakit leukimia stadium 4.”
“Apa ? Leukimia ?” aku dan Dimas tersentak kaget mendengar ucapan dokter. Sedangkan Icha hanya menatap Dr. Ivan dengan tatapan kosong. Air mata menetes di pipi Icha.
“Dokter bohong kan !? Enggak mungkin Icha bisa terkena leukimia !” Bantah aku yang tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan.
“Saya tidak bohong. Icha positif mengidap leukimia.”
Kakiku lemas. Aku terjatuh. Air mataku menetes, tak percaya bahwa gadis yang sangat aku cintai menderita penyakit yang begitu parah. Dimas berusaha menenangkan aku. Icha menggenggam tanganku erat.
“Aku enggak apa-apa kok. Kamu tenang aja yah, jangan sedih gitu.” Aku tak kuasa mendengar ucapan Icha barusan. Aku hanya bisa memeluknya.
Hening. Tak ada suara di ruangan itu. Hanya isak tangis Bundanya yang terdengar. Sedang aku masih erat memeluk Icha.

***

Semakin hari keadaan Icha semakin memburuk. Icha menolak untuk menjalani chemoteraphy. Karena menurutnya percuma saja menjalani chemoteraphy bila pada akhirnya cepat atau lambat dia harus pergi. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya berusaha membuatnya kuat. Icha memang seorang gadis yang tegar. Dia tidak pernah mengeluh dengan apa yang saat ini dia alami. Penyakit leukimia tidak pernah membuat dia menjadi seorang yang lemah. Icha tetap menjadi Icha yang biasanya. Tetap menjadi gadis yang periang, baik hati, ramah juga tetap memberi warna di kehidupan orang-orang di sekitarnya.
“Aldo.” Suara Icha menyadarkan aku dari lamunan.
“Eh Icha udah sadar ? Jangan banyak gerak dulu yah.” Pintaku. Icha kembali masuk rumah sakit, setelah kemarin kondisinya sangat buruk.
“Tadi kamu lagi ngelamunin apa sih ?”
“Hmm enggak kok, aku enggak ngelamunin apa-apa. Gimana, udah enakan badannya ?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Iya, aku udah enakan kok. Dari semalem kamu disini nemenin aku, Do ?”
“Iya aku dari semalem disini nemenin kamu. Tadinya sih Bunda kamu nyuruh aku pulang, tapi aku enggak mau. Aku pengen nemenin kamu disini.”
“Makasih yah, Do. Aku jadi enggak enak sama kamu, jadi ngerepotin kamu.”
“Sssstttt… Jangan ngomong kaya gitu lagi yah. Aku sayang kamu. Aku tulus kok nemenin kamu disini.”
Seutas senyum tergambar disana. Senyum manja yang sangat aku sukai. Semakin erat genggamanku. Aku mencium keningnya yang tertutupi oleh poni.
Tiba-tiba Dimas datang.
“Ciieee mesra banget sih pasangan yang satu ini.” Ledeknya.
“Kalo dateng ketok pintu dulu kek, kalo enggak ngasih salam. Ini mah main nyelonong masuk aja, pake segala ngeledek pula.” Protes aku yang merasa terganggu. Hehe
“Gimana Cha, udah baikan ?”
“Udah kok, Ka. Ayah sama Bunda mana ?”
“Ayah sama Bunda nanti nyusul. Katanya sih sekarang lagi di jalan.”
“Ohh iya, guru nanyain gue enggak, Dim ?”
“Iya nanyain, terus gue bilang aja bolos. Weeee..!!” jawab Dimas seraya terus meledekku.
“Ahh elu mah Dim, gitu sih sama temen. Ehh salah sekarang udah jadi ade ipar. Hahaa”
“Diihh ogah deh gue punya ade ipar kaya lu !”
“Issh kalian berdua apaan sih, malah ribut enggak jelas kaya anak kecil gitu.” Protes Icha heran.
“Hehehe bercanda doang, Cha. Yaudah kamu istirahat aja sana. Si Aldo biar sama gue dulu, enggak boleh gangguin ade gue istirahat.” Seraya menarikku keluar kamar perawatan Icha.
“Iya Cha, kamu istirahat aja. Aku sayang banget sama kamu.” Setengah berteriak setelah Dimas berhasil menarikku keluar.

***

Tuhan…
Mungkin umurku tidak lama lagi
Tapi jika memang bisa
Biarkan aku hidup sampai musim hujan ini berakhir
Aku ingin melihat pelangi untuk yang terakhir
Biarkan aku memberi warna untuk orang-orang yang aku sayangi untuk terakhir kalinya
Sebelum nanti pelangilah yang akan menggantikan aku

Terima kasih untuk Bunda dan Ayah
Yang telah merawat dan membimbingku sampai aku bisa seperti ini
Terima kasih untuk Kakak yang paling aku sayangi, Dimas
Yang telah menjaga dan mengerti aku dengan tulus
Terima kasih untuk Aldo
Yang telah menyayangi aku dan menguatkan aku disaat aku jatuh
Terima kasih untuk semuanya
Tanpa kalian aku bukanlah siapa-siapa

Tapi, ku mohon kepada kalian
Jika saat itu tiba, jangan ada tangis yang mengantarkan kepergianku
Aku mau kalian semua tersenyum
Seperti pelangi yang selalu muncul saat hujan reda
Kembali memberikan warna setelah awan mendung memberikan hujan

Icha sayang sama kalian semua :)

Tak sengaja aku membaca tulisan tangan Icha. Air mataku menetes membaca tulisan itu. Ternyata ketakutanku selama ini akan menjadi kenyataan. Aku akan kehilangan Icha untuk selamanya. Kehilangan sosok gadis yang sangat periang. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Aku enggak boleh sedih, karena Icha pun tak pernah terlihat sedih sedikit pun.
Hari ini hujan turun sangat deras. Kamar rawat Icha terasa sangat dingin, padahal AC tidak menyala. Aku memandang keluar melalui jendela kamar rawat. Mungkinkah ini adalah hujan terakhir ? Apa mungkin ini adalah hari terakhir pula Icha dapat melihat pelangi ? Aku menghela nafas panjang.
Aku duduk di sofa dekat tempat tidur Icha. Saat ini Icha sedang tertidur setelah tadi dia minum obat. Aku membuka laptopku. Tanganku mulai asyik mengetik. Aku menuangkan semua isi di kepalaku. Aku menulis cerita tentang Icha dan jalan cerita cinta aku dengannya.
Hujan pun reda. Tak lama kemudian Icha terbangun.
“Aldo.”
“Ehh udah bangun toh kamu. Pas banget hujan baru aja reda.”
“Emang tadi hujan yah ?”
“Iya tadi hujan, tapi sekarang udah reda. Gimana keadaan kamu ? Aku mau ngajak kamu keluar. Kebetulan langit lagi cerah tuh, mataharinya muncul.”
“Hmm aku udah baikan kok.”
“Yaudah aku ngambil kursi roda dulu yah, sekalian minta izin sama dokter juga sama orangtua kamu.”
Setelah memohon-mohon kepada dokter dan orangtua Icha, akhirnya aku di perbolehkan untuk membawa Icha jalan-jalan menikmati suasana sore sehabis hujan. Entah mengapa aku merasa kalau ini adalah saat terakhir aku bersamanya, saat terakhir Icha dapat melihat pelangi.
Aku menuntunnya menaiki kursi roda. Membawanya keluar rumah sakit. Aku ingin membawanya ke taman kota, tempat pertama kali aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Tempat dimana pertama kalinya Icha melihat pelangi dengan indah. Untung saja rumah sakit tempat Icha dirawat tidak terlalu jauh dari taman kota.

***

Rumput taman basah karena baru saja terguyur air hujan. Langit sore itu tidak begitu cerah. Masih ada sisa-sisa awan mendung yang berdiam disana. Tercipta beberapa warna indah yang membentuk setengah lingkaran di atas langit.
Aku duduk berdua dengannya di bawah biasan warna pelangi yang begitu indah. Kulihat Icha sangat menikmatinya. Senyum yang sama saat pertama kali aku mengajaknya kesini. Tak banyak kata yang terucap antara aku dengannya. Tanganku merangkul Icha dari belakang. Dan Icha mengenggam tanganku begitu eratnya.
“Indah yah pelanginya, Do.” Seru Icha dengan suara yang lirih namun tetap dengan senyumannya yang khas.
“Iya pelanginya indah. Sama seperti kamu, Cha. Buat aku, kamu adalah pelangi yang mampu memberikan warna untuk hidupku. Aku begitu sangat sangat menyayangimu.”
“Aku juga sangat menyayangimu, Do.”
Perlahan warna pelangi itu memudar dan terus memudar hingga akhirnya menghilang. Genggaman erat tangan Icha terlepas dari tanganku. Aku menangis. Aku tahu bahwa Icha telah pergi bersama pelangi itu. Yang tersisa hanya biasan warna orange langit senja.
Selamat tinggal Icha. Terima kasih telah memberikan warna terindah didalam hidupku. Cintamu akan selalu ku kenang dalam hati.

Penulis,

Nama : Febrianna Khoirunisa
Email : dedenyakaka21@rocketmail.com
Email Facebook : dedenyakaka21@rocketmail.com
Alamat YM : dedenyakaka21@rocketmail.com
Tempat Tinggal : Bekasi Regensi 1 Blok H4 No. 06, Cibitung, Bekasi

Pesan : Selamat membaca :) Tetaplah semangat menjalani hidup ini walaupun terkadang masalah terus menghampiri :)




Ingin Dapat Penghasilan Dari Affiliate?...Follow Tiktok Kami...
@yasirliamriofficial


Related Post : Pelangi Terakhir Untuk Icha By Febrianna Khoirunisa

0 komentar:

 

Blog Cerita cinta Files And Archive

Admin Of this Blog

Yasirli

*** Halo saya Yasirli "Internet Marketer Indonesia". Follow saya ya...

[Web] [Facebook] [IG] [Tiktok] [Youtube]
[More]
Don't Forget to comeback on Ceritacinta-di.blogspot.com ... Thanks.

Must Read

Semua Cerita dan Tulisan Di Blog Ini Dapat Kamu Baca dan Download Secara Gratis. Namun Tolong Jangan Diperjual Belikan. Thank...