Cerpen GADIS KECIL DAN MUKENA PUTIHNYA - Titian Ratna Gumilang. Cerpen kali ini ditulis dan dikirim oleh teman kita Titian Ratna Gumilang (maaf, tulisan sudah lama dikirim tapi saya baru menemukan filenya). Selamat membaca...
Gadis kecil berumur 8 tahun itu mengelap keringat yang membasahi keningnya. Namanya Ai. Baru dua hari dia dan ibunya menginjakkan kakinya di Jakarta. Mereka ingin mengadu nasib disini. Tapi mencari pekerjaan di Jakarta tidaklah segampang memetik daun di pohon. Ai dan ibunya sudah terbiasa hidup berdua. Bapaknya meninggal saat Ai masih di dalam kandungan. Jadi, ibunya lah yang harus menjadi tulang punggung untuk dirinya dan Ai.
Ai mengamati wajah ibunya yang kelelahan menunggu pembeli membeli kue pukis buatannya. Mungkin karena usianya sudah 50-an. Enam jam sudah mereka ada disini namun tak kunjung ada pembeli yang mencicipi kue mereka. Maklum saja, sudah begitu banyak pedagang kaki lima yang berjejeran di jalan Perintis Kemerdekaan.
"Ayo kita pulang saja, bu. Wajah Ibu pucat sekali." Ai mengajak ibunya untuk segera berkemas-kemas pulang. Namun ibunya hanya geleng kepala.
"Ibu tidak apa-apa."
Ai diam. Ia tidak bisa memaksakan kemauan ibunya untuk tetap disini. Gadis kecil itu melihat jam dinding yang tergantung di gerobak kue pukisnya. Jarum jam menunjukan 15.30. Ai membuka tas ranselnya dan mengeluarkan mukena putih.
"Ai ke musola dulu ya, bu. Nanti gantian Ai yang tunggu dagangan." Ai pamit pada ibunya lalu berjalan ke musola yang cukup jauh dari tempat ia berjualan.
Beberapa menit kemudian sampailah Ai di musola kecil dan warna cat-nya sudah mulai pudar. Dia melepas sandalnya dan berwudhu di samping musola itu. Langkahnya begitu cepat saat Ai melangkah ke dalam musola, ia takut terlalu lama meninggalkan ibunya sendirian. Di musola itu tidak banyak orang, hanya satu dua yang bersembahyang.
Ai dengan khusyuk melantunkan doa dan bersujud kepada-Nya. Tak lupa ia berdoa agar ibu dan dirinya diberi ketabahan menjalani kehidupannya dan selalu diberi kesehatan agar mereka bisa terus berjualan di Jakarta.
Ai melipat mukenanya dan menentengnya sampai keluar musola. Dengan langkah yang lumayan cepat dia berjalan ke tempatnya berjualan. Untung saja Ai tidak lupa arah jalan yang tadi dia lalui.
Gadis kecil itu tersentak melihat sekelompok satpol PP memasukkan gerobak-gerobak ke dalam mobil. Baru saja terjadi razia. Mata Ai menatap sekeliling. Ia tidak melihat sosok ibunya. Disana sepi, tidak ada orang yang lalu lalang di jalan itu. Ai yang masih memegang mukenanya langsung berlari mencari ibunya. Pikirannya tak karuan. Air matanya pun tak kuasa ia tahan lagi.
Kaki kecilnya sudah tidak bisa berlari lagi, namun Ai tetap bersikeras mencari. Ia sangat takut terjadi apa-apa dengan ibunya. Perlahan-lahan ia berjalan menelusuri semua jalan dan berharap ibunya muncul. Tapi, sosoknya tak juga terlihat. Ai semakin takut. Segala penyesalan seperti menggerogoti pikirannya.
"Ibu…."
Nafasnya terengah-engah. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak di bawah pohon di pinggir jalan. Dia mengatur nafasnya dan berusaha untuk tenang. Tapi, lagi-lagi air matanya tidak bisa ia bendung sehingga mukenanya sedikit basah. Doa selalu Ai ucapkan agar Allah mempertemukan dia dengan ibunya.
"Ibu… seharusnya Ai tidak membiarkan ibu sendiri. Ini semua salah Ai." Ai masih terus bergumam.
Pukul 17.02 Ai tak juga letih untuk tetap mencari. Ia sangat berharap ibunya ada di gubuk tempat mereka tinggal. Tapi, Ai sendiri juga tidak ingat arah jalan pulang karena baru dua hari dia tinggal disini. Jakarta pun sangat luas, tidak seperti desa yang jalannya bisa dikira-kira.
Ai semakin gelisah ketika dia menyadari saat tadi dia meninggalkan ibunya dengan keadaannya yang kurang baik. Wajah ibunya yang pucat semakin membuat Ai bersalah telah meninggalkan ibunya sendiri dan terpogoh-pogoh menghindari razia satpol PP.
Adzan Maghrib yang berkumandang membuat Ai mencari musola. Dia mendapati sebuah masjid dan masuk mencari tempat untuk berwudhu.
Mukenanya ia pakai dan menghadap-Nya untuk meminta petunjuk-Nya. Gadis kecil itu segera menunaikan ibadah sholat Maghrib.
"Ya Allah, berikanlah petunjuk agar Ai bisa menemukan ibu. Ai takut terjadi apa-apa dengan ibu. Dimana dia sekarang? Jagalah ibu Ai, Ya Allah. Tolonglah Ai agar Ai bertemu ibu. Ibu Ai sedang sakit, Ai ingin menjaga ibu. Ai mohon, Ya Allah, pertemukanlah kami."
***
Ai melangkahkan kakinya di trotoar. Ia sendiri tidak tahu dimana dia berada. Tujuannya hanya satu yaitu menemukan ibunya dan membawanya pulang. Tapi, jangankan membawanya pulang, bertemu saja belum.
Gadis itu merasakan sesuatu di perutnya. Perih. Sepertinya perutnya minta diisi. Namun, seperak pun ia tak punya. Bagaimana ia bisa makan? Ai menatap sebuah keluarga yang sedang menyantap makanan di warung lesehan. Perutnya semakin perih.
Seseorang dari keluarga itu memberikan selembar uang seribu pada Ai. Dengan halus ia menolaknya, "Maaf, saya tidak minta-minta."
Ai kembali melanjutkan perjalanannya yang sempat terpotong karena perutnya yang rewel. Ia berjalan sendiri di keramaian malam minggu kali ini dengan ditemani mukenanya yang terus ia peluk sepanjang jalan.
Langkah Ai terhenti saat ia menemukan sebuah sungai. Ia jadi ingat dengan kehidupannya di desa, hampir setiap hari dia dan ibunya mencuci di sungai sambil bercerita.
"Ibu, seandainya saja kita masih tinggal di desa. Pasti sekarang ibu sedang mendongeng untuk Ai," gumam Ai pelan.
Ai melihat sekeliling jalan yang memang sangat sepi. Daerahnya menyeramkan. Dan akhirnya malam ini ia memutuskan untuk tidur di pinggir sungai itu dan melanjutkan mencari ibunya besok pagi. Gadis kecil itu tampaknya sangat kelelahan. Mukena putihnya dilipat dan untuk bersandar kepalanya. Ai sama sekali tidak takut dengan suasana malam itu. Ia tetap bisa tertidur meski kegelisahan menyelimuti dirinya.
***
Ai mencuci mukanya dengan air sungai yang lumayan jernih itu. Dihirupnya udara pagi ini. Tidak sesegar perasaan yang bergemuruh di hatinya. Dengan cepat ia membenahi mukena putihnya lalu berjalan meninggalkan sungai. Baru satu langkah, terdengar suara yang sepertinya dari perut Ai. Dari kemarin perutnya tak juga berhenti minta diisi. Tapi sepertinya Ai tak menghiraukannya, ia lebih memilih mencari ibunya daripada mengurusi sakit perutnya.
Perjalanan hari ini terasa berat sekali untuk Ai. Berjalan tanpa ada sang ibu di sisinya. Padahal setiap hari ibunya selalu ada di dekat gadis mungil itu. Maklum saja, ibunyalah yang mengurusi Ai dari bayi sampai sekarang hingga Ai sudah bisa mengerti arti kasih sayang ibu.
Ai menghentikan langkahnya saat dia melihat empat gadis remaja sedang membagikan kotak makanan kepada anak-anak kecil di Musola. Perutnya semakin perih. Tapi Ai tetap bersikeras untuk tidak meminta-minta, ia yakin Tuhan pasti akan memberikan sesuatu yang lebih tanpa harus minta dikasihani.
Salah seorang gadis remaja berpakaian warna putih memperhatikan Ai yang berdiri di bawah pohon sambil melamun. Sepertinya gadis remaja itu mengetahui apa yang Ai rasakan sehingga dia mengambil satu kotak makanan dan menentengnya lalu mendekati Ai.
"Hai, adik kecil. Kenapa kamu berdiri disini? Ayo ikut kakak."
"Tidak, kak. Terimakasih."
"Loh, kenapa? Emh, siapa nama kamu?"
"Nama saya Ai."
"Nama kakak Mifta. Ya sudah, kalau Ai tidak mau ikut. Tapi, Ai harus menerima ini." Mifta menyerahkan kotak yang ia bawa pada Ai.
"Tidak usah, kak."
"Tidak apa-apa. Kakak disini sedang membagikan makanan untuk anak-anak. Kalau Ai tidak mau, Ai bisa memberikannya untuk ibu dan bapak Ai di rumah."
Ai menunduk, "Bapak saya sudah meninggal, dan saya baru saja terpisah dengan ibu saya."
"Kenapa bisa terpisah?"
"Saya dan ibu adalah pedagang kaki lima. Waktu itu saya ijin sholat ashar dan meninggalkan ibu jaga sendirian di gerobak kami. Tapi, saat saya kembali menemui ibu, disana tidak ada siapa-siapa karena Satpol PP baru saja mengadakan razia. Sampai sekarang saya tidak tahu keberadaan ibu." muka Ai kembali murung.
"Kakak tahu perasaan Ai saat ini. Tapi, Ai harus tegar. Ai berdoa pada Allah supaya Ai dipertemukan ibu. Kakak yakin kalau Ai mau sabar, Ai akan bertemu ibu lagi."
"Iya, Ai akan sabar. Kata ibu, Allah sangat suka dengan orang-orang yang sabar."
"Ya sudah, sekarang Ai makan ini ya? Ai pasti lapar kan?"
Ai langsung melahap makanan yang diberikan Mifta padanya. Ternyata Tuhan mengutus seseorang untuk menjadi dewi penolongnya. Selesai makan, Ai ikut membantu membagikan kotak makanan untuk anak-anak yatim piatu bersama Mifta dan yang lain.
"Ini mukena Ai?" tanya Mifta pada Ai.
"Iya, ini mukena buatan ibu. Dulu ibu mencari kain yang sudah tidak terpakai lalu ibu membuatkan Ai mukena."
"Begitulah kasih sayang seorang ibu. Ai harus bangga mempunyai ibu seperti ibu Ai. Oh iya, kakak tinggal bersama teman-teman kakak di rumah sederhana. Kalau Ai mau, Ai bisa tinggal bersama kakak." Mifta menawarkan tempat tinggal untuk Ai.
Tapi gadis kecil itu hanya geleng-geleng kepala, "Ai tidak mau merepotkan kakak dan teman kakak yang lain."
"Memangnya siapa yang direpotkan? Ai sama sekali tidak merepotkan kakak dan teman-teman kakak."
Akhirnya Ai menurut. Untuk sementara Ai tinggal bersama para gadis itu. Rumah yang dibilang sederhana ternyata sangat mewah. Apalagi rumah berlantai tiga hanya ditempati empat orang saja.
Malam ini, Ai berada di kamar Mifta yang sangat luas. Gadis remaja itu sangat baik kepada Ai. Dan ini membuat Ai kagum pada Mifta yang sangat murah hati.
"Kakak ini seorang penulis. Sejak kecil, kakak senang sekali menulis cerita. Dengan menulis, kakak bisa mencurahkan semuanya di buku lalu dikembangkan menjadi sebuah novel. Seharusnya kakak harus menulis bulan ini, tapi kakak belum dapat inspirasi," ujar Mifta.
"Menulis tentang Malin Kundang saja, kak."
"Itu kan cerita rakyat."
Lagi-lagi muka Ai berubah murung, "Setiap malam, ibu selalu mendongeng cerita rakyat untuk Ai. Sekarang, ibu dimana Ai tidak tahu. Disana ibu baik-baik saja tidak ya?"
"Ai, tadi kan kakak sudah bilang. Ai harus percaya sama Allah. Ai tahu kan kalau Allah tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan manusia? Allah pasti akan menjaga ibu Ai dimanapun dia berada." untuk ke sekian kalinya Mifta menghibur Ai.
"Sekarang, Ai tidur. Sudah malam. Besok kakak tidak ada kuliah. Jadi, kakak akan menemani Ai mencari ibu Ai," ucap Mifta membuat Ai sumringah lalu berlari ke atas tempat tidur dan terlelap.
***
Selama lima jam Ai dan Mifta berkeliling mencari sosok ibu yang sangat berarti untuk Ai. Namun, selama itu juga belum ada tanda-tanda ada ibu Ai. Diam-diam Mifta kagum dengan usaha Ai yang tidak kenal lelah.
"Ai tunggu sini ya, kakak mau beli minuman dulu. Jangan kemana-mana." Mifta langsung berjalan menuju toko yang lumayan jauh dari bangku yang diduduki Ai.
Mata Ai tiba-tiba menyipit saat sekelompok Satpol PP sedang menaikkan gerobak-gerobak ke atas mobil. Kakinya langsung bergerak ke arahnya. Ai langsung menarik-narik seragam salah seorang petugas itu.
"Dimana ibu saya?! Kembalikan ibu saya! Kembalikan! Seharusnya bapak sedikit punya perasaan. Pedagang kaki lima juga butuh makan. Bapak tidak tahu kan, ibu saya sedang sakit saat razia itu!" Ai berteriak.
Petugas Satpol PP itu terkejut melihat tingkah Ai lalu berusaha melepaskan cengkeraman Ai, "Eh, anak kecil. Sedang apa kamu? Saya tidak tahu dimana ibu kamu. Lagipula, sudah tahu dilarang berjualan disini, masih saja keras kepala."
"Tapi kalau bapak mengusirnya dengan baik-baik, saya tidak akan kehilangan ibu saya. Bapak seharusnya tidak memperlakukan mereka semua seperti hewan!"
"Eh, anak kecil jangan sembarangan sama orang tua." hampir saja petugas Satpol PP itu mendorong tubuh Ai, tapi Mifta tiba-tiba datang dan menghalanginya.
"Bapak tidak perlu kasar. Jangan mentang-mentang dia hanya anak kecil. Bapak seharusnya juga bisa menghargai kritikan seorang anak. Ayo, Ai. Kita pergi dari sini." Mifta menarik tangan Ai dan berlalu dari hadapan petugas Satpol PP.
Mifta menghapus air mata yang turun dari pipi Ai, "Kakak tahu sekali perasaan Ai saat ini. Tapi, Ai tidak boleh seperti itu. Bagaimanapun juga dia itu orang tua yang harus dihormati."
"Tapi, mereka semua terlalu kasar saat mengadakan razia. Dan Ai tidak percaya kalau itu semua akan terjadi pada ibu."
"Iya, kakak setuju dengan Ai. Tapi, mungkin memang seperti itu cara kerja mereka. Sekarang lebih baik kita pulang saja. Kakak janji besok kita akan mencari ibu Ai lagi."
***
"Ya ampun, Ai lupa. Tadi sore Ai sholat di Musola. Mukena Ai ketinggalan disana, kak. Soalnya tadi Ai sedang masak air, jadinya buru-buru pulang." Ai tiba-tiba menepuk jidatnya.
"Ya sudah, ayo kakak temani Ai mengambil mukena."
Setelah Mifta mengunci pintu rumahnya, mereka berdua berjalan ke
Musola Al-Hidayah untuk mengambil mukena Ai yang ketinggalan. Ai melepas alas kakinya lalu masuk dan baru satu langkah ia masuk, Ai dikejutkan oleh seseorang yang sedang memegang mukenanya dan dia adalah sosok yang sangat Ai kenal.
"Ibu...." Ai langsung memeluk sosok itu yang memang adalah ibunya.
"Ai, anakku. Kemana saja kamu, nak?" Ibu Ai menangis sambil terus memeluk erat anaknya.
"Ibu, Ai mencari ibu. Ai takut sekali kalau Ai tidak akan bertemu ibu lagi."
"Ibu saat itu mencari Ai. Tapi ibu tidak tahu Musola tempat Ai sholat, jadi ibu kira Ai akan pulang. Tapi, ibu lupa kalau Ai tidak hafal jalan pulang. Ibu dari kemarin mencari Ai, lalu ibu kebetulan tadi ke Musola ini dan menemukan mukena Ai, dan ibu yakin sekali Ai pasti akan kesini mengambil mukena ini."
Ai belum juga melepas pelukannya, "Maafkan Ai, ibu. Ai sudah menyusahkan ibu."
"Tidak, nak."
Ai tiba-tiba ingat dengan Mifta yang daritadi berdiri di sampingnya, "Ibu, ini kak Mifta. Dia yang menolong Ai dan mengajak Ai tinggal di rumahnya. Dia baik sekali."
"Terimakasih, nak sudah mau menolong Ai."
"Sama-sama, ibu."
"Kak, terimakasih ya sudah mau mengijinkan Ai tinggal di rumah kakak. Kakak adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk membantu Ai. Ai senang sekali bisa bertemu dengan orang sebaik kakak. Berkat kakak, Ai bisa berkumpul lagi dengan ibu. Kakak jaga diri baik-baik yah? Kapan-kapan Ai akan mampir ke rumah kakak," ucap Ai memeluk Mifta.
"Iya, Ai. Ai juga jaga diri baik-baik ya? Kakak pasti akan rindu sekali dengan Ai. Oh ya, jaga ibu juga ya? Kakak pamit dulu. Mari, bu."
Mifta memutar badannya dan berjalan ke luar Musola. Ia sangat senang karena Ai sudah menemukan ibunya dan bisa berkumpul lagi.
Mifta menyalakan laptop-nya. Berkat Ai, dia sudah menemukan inspirasi untuk menulis cerita. Dan dia langsung menulis judul cerita itu: Gadis Kecil dan Mukena Putihnya.
-END-
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Titian Ratna Gumilang
Tempat Tanggal Lahir : Cilacap, 30 Maret 1994
Alamat Rumah : Jln. Logawa Barat No. 344 Cilacap Selatan
Jawa Tengah - Donan
Alamat E-mail : iand.pinky@yahoo.com
Alamat Facebook : kupu10@yahoo.com
No. Hp : 081903060082
@yasirliamriofficial
4 komentar:
Kasih ibu sepanjang masa :)
Cerpen yg bagus... bikin terharu... :((
ceritanya bagus, menyentuh bgt.
Grrr nama panggilan gua ai tau!!!
Posting Komentar